Seorang saksi memberikan saksi dalam sebuah persidangan tindak pidana korupsi, di PN Pekanbaru
Madaniy.Com - Das Sollen berbeda dengan Das Seinnya. Hukum dalam teorinya umumnya memang berbeda dalam praktiknya.
Hukum tidak lagi sekaku yang dipahami, tetapi lebih pada sifat fleksibelnya apabila telah berada dalam lingkup implementasinya.
Satu asas hukum merupakan bakal munculnya berbagai norma hukum, yang kemudian dari satu norma itu memunculkan berbagai kaidah hukum.
Kaidah hukum inilah yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi pedoman dalam hidup dan bertingkah laku.
Namun, kadang apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan sebagai pedoman yang semestinya, diterapkan secara berbeda.
Salah satunya terkait dengan pemeriksaan saksi secara bersamaan atau sekaligus dalam proses persidangan, baik dalam pemeriksaan perkara pidana, maupun perdata.
Seperti halnya alat bukti pada umumnya, alat bukti keterangan saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil. Antara kedua syarat itu bersifat kumulatif, bukan alternatif.
Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi.
Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap mengakibatkan saksi yang diajukan tisak sah sebagai alat bukti.
Atau sebaliknya, syarat materiil seluruhnya terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti.
Hal ini menjadi sangat esensial untuk dikaji karena pemeriksaan saksi satu per satu menjadi salah satu syarat sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti.
Pemeriksaan saksi satu per satu merupakan prinsip, yang tergolong sebagai syarat formil sahnya keterangan saksi tersebut sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian.
Das Sollen : Pemeriksaan Saksi Satu per Satu
Saksi harus diperiksa satu per satu. Dasar hukum pemeriksaan saksi tersebut telah tertuang dalam Pasal 144 ayat (1) HIR menyatakan bahwa “Saksi-saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil dalam ruang sidang seorang demi seorang”.
Selanjutnya dalam R.Bg. disebutkan secara limitatif bahwa “ Saksi-saksi yang telah menghadap, dipanggil satu per satu untuk masuk ke ruangan sidang”.
Pasal 160 ayat (1) huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyebutkan bahwa “Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum”.
Saksi-saksi yang akan diambil keterangannya dipanggil satu per satu (seorang demi seorang) untuk masuk ke ruang sidang. Saksi tidak dibolehkan saling mendengarkan keterangan.
Hal ini untuk menghindari saksi saling memengaruhi sehingga tidak memberikan keterangan yang seharusnya, sebagaimana yang mereka dengar sendiri, mereka lihat sendiri, atau mereka alami sendiri.
Apabila diperlukan, hakim dapat menyuruh ke luar dari ruang sidang saksi yang telah diperiksa.
Hal ini dilakukan apabila terdapat kemungkinan saksi yang akan diperiksa selanjutnya menjadi tidak bebas, merasa canggung, atau merasa takut dalam memberikan keterangannya apabila didengar oleh saksi lainnya.
Kebebasan saksi dalam memberikan keterangan menjadi prinsip dasar diaturnya pemeriksaan saksi harus satu per satu.
Di pihak lain, hakin pun diberikan kebebasan dalam menilai kuantitas kesaksian saksi yang diperiksa di persidangan.
Sumber.
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
M Yahya Harahap, Mantan Hakim Agung