Ilustrasi
Madaniy - Yohanes Gitoyo (September, 2005) memposting tulisannya[1] dengan judul “Tahukah anda gelar haji ternyata diciptakan oleh Belanda”. Judul ini bagi saya cukup masuk akal sebab pertama gelar haji hanya ada di Indonesia, Singapura, Brunai, dan Malaysia (rumpun melayu asia tenggara).
Di negara-negara lain, khusus di Arab gelar haji tidak merujuk kepada seseorang yang sudah melakukan ibadah haji, bahkan menurut catatan Wikipedia di negara Arab gelar haji merujuk kepada penghormatan kepada orang yang lebih tua terlepas pernah haji atau tidak.
Gelar haji juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang pernah dijajah Imperium Usmani (Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia dan Romania) bagi orang kristen yang sudah pernah berziarah ke Yerusalem dan Tanah Suci.
Kedua, sebelum datang Snouck Hugronje abad ke 19, pemerintah Hindia Belanda tidak membolehkan pelaksanaan ibadah haji, hanya orang-orang pilihan Belanda saja yang diperbolehkan pergi haji. Langkah ini diambil Belanda guna meredam gerakan perlawanan umat Islam, di mana tokoh gerakannya telah melaksanakan ibadah haji.
Selain itu, belum dijumpai juga pahlawan nasional yang bergelar haji padahal diketahui mereka sudah pergi haji, misalnya Pangeran Di Ponegoro, Ki Hajar Dewantara, Imam Bonjol dan lain-lainnya.
Setelah tahun 1916, atas saran Snouck Hugronje pemerintah Hindia Belanda menyarankan agar membebaskan umat Islam pergi haji, karena bukan haji yang menyebabkan pemberontakan tetapi Pan Islamisme.
Bersamaan dengan diberinya kebebasan pergi haji tersebut pemerintah Hindia Belanda mewajibkan umat Islam yang sudah pergi haji menambah huruf “H” singkatan dari haji. Sejak itulah gelar haji menjadi simbol bagi umat yang sudah pergi haji.
Ketiga, logika sederhana yang sering dipaparkan banyak pihak. Bahwa pergi haji merupakan salah rukun Islam. Jika haji menuntut gelar dipangkal nama, seharusnya rukun Islam yang lain harus punya gelar juga, orang yang mengucap syahadat, sholat, bayar zakat dan berpuasa dibulan Ramadhan. Nyatanya hanya rukun Islam ke 5 saja yang mempunyai gelar.
Bertahannya gelar haji di depan nama umat Islam yang sudah pergi haji dapat dimaklumi, sebab gelar haji tersebut telah menjadi budaya dan sistem sosial. Gelar haji telah memproduksi sarana solidaritas sosial, seperti perayaan sebelum berangkat, pengantaran keberangkatan dengan jumlah yang besar, dan gaya berpakaian (pakaian arab).
Haji memproduksi sistem sosial terutama tata hubungan sosial di mana yang bergelar haji mendapat penghormatan sebagai orang alim, berada dikelas yang lebih tinggi sehingga memperoleh status sosial dan keagamaan yang lebih tinggi.
Umat Islam yang pergi haji umumnya adalah mereka yang mampu secara ekonomi sehingga memerlukan legitimasi status sosialnya salah satunya melalui gelar haji. Gelar haji memberikan arti penting dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap dirinya baik karena keagamaannya maupun karena kekayaannya.
Nah, masihkah anda memakai gelar haji?
Ditulis oleh M. Rawa El Amady
Dimuat di id.Linkedin.com