Grafis
Pekanbaru, Madaniy - Proses pembahasan RTRWP Riau yang hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Sehingga pembahasan draft yang tidak transparan, dinilai bakal menguntungkan bagi segelintir elit, birokrasi dan korporasi saja.
"Kasus korupsi yang melibatkan Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut membuktikan proses pembahasan RTRWP Riau tidak transparan karena perilaku korupsi,' kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Dalam Media Briefing yang dilakukan di Pekanbaru, Jumat (4/8/2017) pemerintah dinilai tidak menjalankan UU Penataan Ruang yang memberi ruang pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
"Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, maka masyarakat hukum adat dan masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan, dengan mudah dapat dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan UU kehutanan dan UU Tata Ruang," kata Woro Supartinah.
Dua alasan terkemuka dari sepuluh persoalan menjadi alasan bagi Jikalahari, mendesak DPRD Propinsi Riau untuk menghentikan pembahasan Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Povinsi (RTRWP) Riau 2016-2035 jelang paripurna DPRD Riau pada 7 Agustus 2017.
“Draft RTRWP 2016 – 2035 banyak tidak mengakomodir perubahan kebijakan dan produk-produk hukum terbaru seperti Perhutanan Sosial, Tanah Objek Re, beberapa izin perusahaan industri kehutanan yang dicabut serta ekosistem gambut. Akibatnya ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis tidak mendapat tempat, justru draft ini melegalkan dominasi monopoli korporasi HTI, sawit, tambang dan cukong di Riau,” tambah Woro.
RTRWP juga tidak mengakomodir PS, TORA dan Hutan Adat. Seharusnya draft RTRWP Riau mengakomodir kebijakan yang bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan.
Ditambahkan Woro, "Pemerintah menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema: Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Obyek reforma Agraria (TORA). Juga mematuhi dan mengakomodir Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS, kenapa tidak ditaati?"
Sejumlah alasan yang harus dipertimbangkan pemerintah provinsi Riau dan DPRD, hendaknya menjadi perhatian penting, karena produk yang dihasilkan bakal mengikat masyarakt selama puluhan tahun.
Yuki Chandra