Sepenggal Cerita Sispala Galapagos II
'Galapagos' Pertarungan di Gadut - Lubuak Paraku
Waktu masih menunjukkan pukul 06.15 WIB, namun seratusan siswa SMA 1 Padang telah berkumpul di halaman gedung sekolah.
Madaniy.Com - Semasa penjajahan Belanda menguasai Indonesia selama tiga abad, Pemerintah Belanda memandang perlu untuk membuat lapangan terbang di Pekanbaru guna memperlancar hubungan keluar maupun mengangkut hasil bumi ke negerinya sekaligus basis militer.
Pada tahun 1930, atas izin Sultan Siak yang diberikan kepada Pemerintah Belanda yang tertuang dalam Surat Sultan Siak Nomor : 9 tanggal 10 Juli 1930, maka dibuatlah Lapangan Terbang di atas tanah seluas 3.270 ha (Timur-Barat 1.090 m dan Utara-Selatan 3.000 m).
Setelah dioperasionalkan Pemerintah Belanda, maka lapangan terbang tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Lapangan Terbang atau Pelabuhan Udara Simpang Tiga.
Pada tahun 1942 ketika Jepang menguasai Indonesia hingga 1945, maka pelabuhan udara Simpang Tiga menjadi diambil alih Jepang. Penjajah dari Negeri Sakura ini melihat bahwa pelabuhan udara Simpang Tiga merupakan kunci Selat Malaka.
Oleh karenanya pelabuhan udara tersebut digunakan sebagai basis Angkatan Udara Jepang. Sekitar 3,5 tahun masa penjajahan Jepang telah berjalan, hingga terdengarlah berita kekalahan bala tentara jepang yang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 tersiar di daerah Riau.
Namun kegembiraan ini ternyata tidak berlangsung lama, karena pada akhir September 1945 datanglah tentara sekutu yang bertugas sebagai RAPWI (Rehabilitation Allied Prissoners Of War And Internes = Rehabilitasi tawanan-tawanan perang sekutu dan interniren) untuk mengurus dan mengembalikan tawanan-tawanan perang.
Sebelum kedatangan tentara-tentara sekutu tersebut oleh pesawat angkatan udara Inggris RAF (Royal Air Force) telah di drop perbekalan-perbekalan sebagai bantuan terhadap orang-orang Belanda dengan mendaratkan tiga buah pesawat terbang pemburu (Jager) di Pelabuhan Udara Simpang Tiga.
Waktu terus berjalan dalam kobaran api revolusi mempertahankan Kemerdekaan RI. Beberapa kali terjadi peristiwa membara di sekitar Pelabuhan Udara Simpang Tiga, seperti pada tanggal 2 Juli 1946; pesawat terbang B-25 (Mitchel) jenis Bomber/Straffer milik Belanda berputar-putar di atas landasan dan terus terbang rendah sambil menyiramkan pelurunya ke landasan dan sekitarnya.
Tanggal 4 Juli 1946 Opsir Muda Udara M. Jacoeb datang bersama rombongan dari komandemen Sumatera mendapat tugas memperbaiki semua lapangan terbang di sumatera dan menyediakan bahan bakar pesawat dengan dasar Surat Perintah Nomor 150 dari Komandemen Tentara Sumatera Jendral Mayor R Suhardjo tertanggal 3 Juli 1946.
Tepat dua hari berikutnya pesawat Bomber jenis Lockheed “Load Star” dating kembali menghujankan peluru di landasan dan sekitarnya. Load Star disambut pula dengan senjata 12,7 yang diambil dari pesawat yang telah jadi rongsokan.
Tembakan anak buah Letnan Kolonel Hasan Basri mengenai sasaran namun pesawat tersebut tidak jatuh dan pergi menghilang.
Ketika para pemuda Pekanbaru kehilangan semangat juangnya karena dampak dari Agresi I Belanda, Presiden Soekarno mendarat di Pelabuhan udara Simpang Tiga Pekanbaru menggunakan pesawat RI 002 milik Republik Indonesia.
Dari lapangan terbang Simpang Tiga Presiden Soekarno menuju tempat penginapannya di rumah Residen Riau R.M Utoyo. Keesokan harinya diadakan upacara militer di lapangan TNI (Ex lapangan Wirabima) dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon I Mayor Yusuf Nur.
Lima bulan setelah kunjungan Presiden Soekarno, Belanda kembali melancarkan serangan yang terkenal dengan Agresi Belanda II. Pada masa agresi belanda II, Pelabuhan udara Simpang Tiga yang sejak 1947 dikomandani Opsir Udara Dua Sukotjo dengan kekuatan 1 Detasemen, seakan-akan dikosongkan karena situasi yang tidak memungkinkan untuk bertahan.
Pada tahun 1951 karena pangkalan udara Pekanbaru terjadi kekosongan pimpinan, maka akhirnya ditunjuk Pratu Ibrahim untuk menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Pekanbaru.
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958, karena merasa mendapat dukungan kuat dari komando-komando daerah militer Sulawesi Utara, mereka memproklamirkan kemerdekaannya dan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Pemerintah RI yang syah).
Pada tahun 1958 s/d 1959, Komandan Pangkalan Udara Pekanbaru dijabat oleh Lettu Pas Nikijuluw. Lalu pada tahun 1959 s/d 1961, Komandan lanud Pekanbaru dijabat Kapten Psk Soenardi. Kedatangan beliau di Lanud Pekanbaru dalam rangka tugas operasi sesuai situasi dan kondisi waktu itu.
Pada saat pembentukan Skadron Udara 12, tanggal 12 September 1963, kekuatan inti pesawat tempur yang dioperasikan dari jenis MIG-19 dan MIG-21 dengan kedudukan di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta. Sedang selaku Komandan yang pertama dipercayakan kepada Mayor Udara Musidjan. Seiring dengan perubahan situasi serta usia pakai kedua jenis pesawat tersebut yang sulit untuk dapat dipertahankan, maka Sakdron Udara 12 sementara dibekukan dari tugas-tugasnya sebagai salah satu kekuatan tempur TNI AU pada awal 1970-an.
Skadron Udara 12 baru dapat diaktifkan kembali pada tanggal 2 Mei 1983 dengan kekuatan inti pesawat tempur jenis A-4 Skyhawk produksi Mc Donnel Duoglas, Amerika Serikat.
Elang Angkasa A-4 yang berkedudukan di pangkalan TNI AU Iswahyudi Madiun, merupakan inti kekuatan Skadron Udara 11 sebelum dipecah menjadi sebagian di Skadron Udara 12, dan sebagian lagi tetap di Skadron Udara 11.
Pimpinan TNI AU mempercayakan kepada Letkol Pnb Irawan Saleh sebagai Komandan Skadron Udara 12 setelah 14 tahun tidak di aktifkan, dengan tugas melaksanakan operasi taktis, strategis, pertahanan udara terbatas dan visual foto recce.
Berdasarkan pertimbangan pertahanan wilayah dirgantara nasional, pimpinan TNI AU mengambil kebijakan untuk memindahkan kedudukan Skadron Udara 12 dari Iswahyudi Madiun ke Pangkalan TNI AU Pekanbaru, yang pelaksanaannya dimulai tanggal 7 September 1983 dengan memindahkan 27 Kepala Keluarga, dibawah Pimpinan Komandan Skadron Udara 12 Letkol Pnb Irawan Saleh.
Skadron Udara 12 dengan Komandannya Letkol Pnb Hanafie Asnan secara resmi menjadi warga Riau tanggal 28 Maret 1985, yang ditandai dengan upacara Tepung Tawar oleh Gubernur Riau Imam Munandar beserta para pemuka adat.
Selama pengabdiannya kepada tanah air, Skadron Udara 12 tidak pernah absen dalam berbagai operasi, baik sebelum dan sesudah berkedudukan di Pekanbaru, antara lain Operasi Rencong Terbang, Halau, Tetuko, Seroja, Timtim, dan lain-lain.
Skadron Udara 12 dibawah kepemimpinan Letkol Pnb R. Hari Muljono telah mulai mengoperasikan pesawat tempur Hawk 100/200 buatan British Aerospace (BAe) yang mulai berdatangan sejak bulan Mei 1996 sampai akhir Maret 1997, menggantikan si Elang Angkasa A-4 yang telah kembali ke asalnya Skadron Udara 11 Pangkalan TNI AU Hasanuddin Ujung Pandang.
Hingga saat ini kekuatan Skadron Udara 12 tetap mengoperasi pesawat tempur Hawk 100/200 dan tetap dipercaya sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan wilayah udara Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat.
Sumber: Pentak Lanud Roesmin Nurjadin
Editor: Yuki Chandra
Waktu masih menunjukkan pukul 06.15 WIB, namun seratusan siswa SMA 1 Padang telah berkumpul di halaman gedung sekolah.
Saat istrinya kembali ke pangkuannya, Nabi Ayyub bermaksud melaksanakan sumpahnya dengan 100 kali pukulan.
Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita,
Dalam Alquran, dijelaskan, Nabi Ayyub AS adalah seorang utusan Allah yang sangat sabar. Ia disebut-sebut sebagai seorang hamba yang paling baik karena kesabarannya itu.
Ma’ruf Amin juga dapat dibaca sebagai sifat yang melekat pada pribadi tokoh ini, yaitu yang dikenali dengan kebaikannya dalam maknanya yang luas (Ma’ruf) dan yang dapat dipercaya (Amin)
Kesatuan elite dari negara pemenang Perang Dunia II babak belur dihajar tentara Indonesia dan laskar dalam konvoi menuju Sukabumi. Jembatan Cisokan lama, tempat awal Batalion 3/3 Gurkha Riffles diserg